NAMA :
DEWI ANDINI
NIM : 2011112225
MATA KULIAH : SASTRA DAERAH
KELAS : E/III
DOSEN PENGASUH: FIFI LESTARI,S.Pd
Legenda Pulo Kemaro
adalah sebuah legenda yang mengisahkan asal mula terjadinya Pulau Kemaro di
daerah Palembang, Sumatra Selatan, Indonesia. Menurut cerita, pulau tersebut
merupakan penjelmaan Siti Fatimah putri Raja Sriwijaya yang menceburkan diri ke
Sungai Musi hingga tewas. Peristiwa tewasnya putra Raja Sriwijaya tersebut
disebabkan oleh tindakan ceroboh yang dilakukan oleh kekasihnya bernama Tan Bun
Ann, putra Raja Negeri Cina. Kecerobohan apa yang telah dilakukan oleh Tan Bun
Ann? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Pulo Kemaro berikut ini.
* * *
Alkisah,
di daerah Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja yang bertahta di Kerajaan
Sriwijaya. Raja tersebut mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama
Siti Fatimah. Selain cantik, ia juga berperangai baik. Sopan-santun dan tutur
bahasanya yang lembut mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan dan
keelokan perangainya mengundang decak kagum para pemuda di Negeri Palembang.
Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena kedua orang
tuanya menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.
Pada
suatu hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri Cina bernama Tan Bun Ann
untuk berniaga di Negeri Palembang. Putra Raja Cina itu berniat untuk tinggal
beberapa lama di negeri itu, karena ia ingin mengembangkan usahanya. Sebagai
seorang pendatang, Tan Bun Ann datang menghadap kepada Raja Sriwijaya untuk
memberitahukan maksud kedatangannya ke negeri itu.
“Ampun,
Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari Negeri Cina. Jika
diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di negeri ini dalam waktu beberapa lama
untuk berniaga,” kata Tan Bun Ann sambil memberi hormat.
“Baiklah,
Anak Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri ini, tapi dengan syarat kamu
harus menyerahkan sebagian untung yang kamu peroleh kepada kerajaan,” pinta
Raja Sriwijaya.
Tan
Bun Ann pun menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak itu, setiap minggu ia
pergi ke istana untuk menyerahkan sebagian keuntungan dagangannya. Suatu
ketika, ia bertemu dengan Siti Fatimah di istana. Sejak pertama kali melihat
wajah Siti Fatimah, Tan Bun Ann langsung jatuh hati. Demikian sebaliknya, Siti
Fatimah pun menaruh hati kepadanya. Akhirnya, mereka pun menjalin hubungan
kasih. Karena merasa cocok dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk
menikahinya.
Pada suatu hari, Tan
Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun,
Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda untuk meminta restu. Jika
diperkenankan, hamba ingin menikahi putri Baginda, Siti Fatimah,” ungkap Tan
Bun Ann.
Raja Sriwijaya
terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann adalah seorang putra Raja Cina
yang kaya raya.
“Baiklah,
Tan Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku dengan satu syarat,” kata Raja
Sriwijaya.
“Apakah
syarat itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.
“Kamu
harus menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab Raja Sriwijaya.
Tanpa berpikir
panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi syarat itu.
“Baiklah,
Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan Bun Ann.
Tan Bun Ann pun
segera mengirim utusan ke Negeri Cina untuk menyampaikan surat kepada kedua orang
tuanya. Selang beberapa waktu, utusan itu kembali membawa surat balasan kepada
Tan Bun Ann. Surat balasan dari kedua orang tuanya itu berisi restu atas
pernikahan mereka dan sekaligus permintaan maaf, karena tidak bisa menghadiri
pesta pernikahan mereka. Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua
orang tuanya mengirim sembilan guci berisi emas. Demi keamanan dan keselamatan
guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut, mereka melapisinya dengan
sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.
Saat
mengetahui rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun Ann dan Siti Fatimah
bersama keluarganya serta seorang dayang setianya segera berangkat ke dermaga
di Muara Sungai Musi untuk memeriksa isi kesembilan guci tersebut. Setibanya di
dermaga, Tan Bun Ann segera memerintahkan kepada utusannya untuk menunjukkan
guci-guci tersebut.
“Mana
guci-guci yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann kepada salah seorang
utusannya.
“Kami
menyimpannya di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab utusan itu seraya menuju ke kamar
kapal tempat guci-guci tersebut disimpan.
utusan itu mengeluarkan kesembilan guci
tersebut dari kamar kapal, Tan Bun Ann segera memeriksa isinya satu persatu.
Betapa terkejutnya ia setelah melihat guci itu hanya berisi sayur sawi yang
sudah membusuk.
“Oh,
betapa malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka akan merasa diremehkan
dengan barang busuk dan berbau ini,” kata Tan Bun Ann
dalam
hati dengan perasaan kecewa seraya membuang guci itu ke Sungai Musi. Dengan
penuh harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang lainnya. Namun, harapan
hanya tinggal harapan. Setelah membuka guci-guci tersebut ternyata semuanya
berisi sayur sawi yang sudah membusuk. Bertambah kecewalah hati putra Raja Cina
itu. Dengan perasaan kesal, ia segera melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai
Musi satu persatu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Ketika ia hendak
melemparkan guci yang terakhir ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga
guci itu jatuh ke lantai kapal dan pecah. Betapa terkejutnya ia saat melihat
emas-emas batangan terhambur keluar dari guci itu. Rupanya di bawah sawi-sawi
yang telah membusuk tersebut tersimpan emas batangan. Ia bersama seorang
pengawal setianya segera mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci
yang berisi emas tersebut.
Melihat
hal itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak melihat keadaan
calon suaminya. Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon suaminya itu muncul di
permukaan air sungai. Karena orang yang sangat dicintainya itu tidak juga
muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama dayangnya yang setia ikut mencebur ke
sungai untuk mencari pangeran dari Negeri Cina itu. Sebelum mencebur ke sungai,
ia berpesan kepada orang yang ada di atas kapal itu.
“Jika
ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya,” demikian
pesan Siti Fatimah.
Beberapa
hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah di tepi Sungai Musi.
Lama kelamaan tumpukan itu menjadi sebuah pulau. Masyarakat setempat
menyebutnya Pulo Kemaro. Pulo Kemaro dalam bahasa Indonesia berarti Pulau
Kemarau. Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah digenangi air
walaupun volume air di Sungai Musi sedang meningkat.
* * *
Demikianlah
Legenda Pulo Kemaro dari daerah Palembang, Sumatra Selatan. Pulau Kemaro yang
terletak sekitar lima kilo meter di sebelah timur Kota Palembang ini memiliki
luas kurang lebih 24 hektar. Kini, Pulau Kemaro menjadi salah satu obyek wisata
menarik, khususnya wisata budaya dan religius, di Palembang. Setiap perayaan
Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek) ribuan masyarakat Cina (baik dari dalam
maupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina) datang
berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Di pulau
itu terdapat sebuah kuil sebagai tempat peribadatan, dan di dalamnya terdapat
gundukan tanah yang diyakini makam Siti Fatimah, dan dua gundukan tanah yang
agak kecil yang diyakini makam pengawal Tan Bun Ann dan makam dayang Siti
Fatimah.
Di
Pulau Kemaro juga terdapat sebuah pohon langka yang disebut “Pohon Cinta”, yang
dilambangkan sebagai ritus “cinta sejati” antara dua bangsa dan budaya berbeda
pada zaman dahulu, yaitu antara Siti Fatimah dari Negeri Palembang dan Tan Bun
Ann dari Negeri Cina. Konon, jika pasangan muda-mudi yang sedang menjalin
hubungan kasih mengukir nama mereka di pohon itu, maka cinta mereka akan
berlanjut sampai ke pelaminan. Itulah sebabnya, pulau ini disebut juga “Pulau
Jodoh”.
Pelajaran yang dapat
dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sikap ketergesa-gesaan dapat membuat
seseorang kurang teliti dalam melakukan sesuatu, sehingga pekerjaan atau
masalah yang dihadapinya tidak mampu diselesaikannya. Hal ini ditunjukkan oleh
sikap Tan Bun Ann yang karena tidak ketidaksabarannya ingin menunjukkan emas
tersebut kepada Raja Sriwijaya, sehingga membuatnya kurang teliti ketika
memeriksa guci-guci tersebut. Akibatnya, guci-guci yang berisi emas batangan
tersebut dibuangnya ke sungai, yang pada akhirnya menyebabkan ia tenggelam dan
tewas.
http://cerita.web.id/cerita-rakyat-legenda-pulo-kemaro.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar