KRITIK SASTRA PUISI “CERMIN DIRI”
KARYA KAHLIL GIBRAN
DEWI ANDINI (2011112225)
BAHASA
ILMIAH TERBUNGKUS SERIBU MAKNA
……… Kalkulatif
mutualisme
Membuat kau jauh
dariku…..
Berarti pemahaman
individualism
Masih teramat
dangkal
Dan jika
kalturalis masih mengikat kuat
Kau seperti kaum
orthodox yang selalu…….
Dalam puisi CERMIN DIRI Kahlil
Gibran memberikan pilihan kata yang terlihat banyak menggunakan kata-kata
ilmiah. Tetapi pengarang membungkus kata-kata dalam puisi tersebut dengan
menggunakan bukan arti kata yang sebenarnya. Terdapat pada kata dicolok,
disanjung, muka merah menyala bagai api sebagai symbol sesuatu yang kesal marah
kepada dirinya yang tidak berguna seperti dirinya dianggap tidak berguna lagi. Kata
“Sampai mampus pun kau tak kan bisa terima aku” merupakan sebuah harapan Kahlil
Gibran sebagai kekecewaan terhadap kekasihnya. Kata “Selalu ingin menempatkan
egomu diatas altar” diungkapkan pengarang memberi kesan pada makna kekecewaan
yang dirasakan. Pengarang juga mencoba menggambarkan sebuah kebekuan perasaan
dan jiwa dalam puisi ini.
Seorang Kahlil Gibran mampu
menciptakan pilihan kata sebaik mungkin, walaupun kata yang digunakan adalah
bahasa percakapan. Tetapi, lewat kata-kata tersebut mampu menghadirkan makna
yang dalam. Kahlil merupakan salah satu penyair yang tidak selalu terikat pada
peraturan sehingga terkadang Kahlil tidak pernah memperhatikan bunyi yang ada
dalam puisinya. Kahlil Gibran berpendapat bahwa sebuah puisi adalah suatu
kebebasan. Namun, lain halnya dengan puisi ini Kahlil memperhatikan bunyi walau
tidak terlihat secara mencolok.
Meskipun bahasa dalam puisi ini
adalah bahasa percakapan sehari-hari, namun dibalik kata-kata tersebut Kahlil
memberikan bahasa kias. Bahasa kias tersebut digunakan pengarang untuk
memperdalam makna yang ada dalam puisinya.
……………………
Kau seperti kaum
orthodox yang selalu ingin menempatkan
Egomu diatas
altar penyembahan itu…….
……………………
Seperti anak
kecil yang dicolok
…………………….
Dari kutipan tersebut terlihat
adanya bahasa metafora yang digunakan pengarang untuk memperlihatkan rasa
kecewa karena yang dirasakan. Ketidakberdayaan diungkapkan Kahlil seperti kaum
orthodox, yang selalu ingin menempatkan ego diatas altar penyembahan itu selalu
keras hati membuat Kahlil menjadi tiada berguna. Harapan pengarang kandas
kepada kekasihnya yang selalu ingin diberi.
Bahasa alusi juga ditampilkan
pengarang untuk mensugestikan kesamaan. Seperti kata orthodox yang memiliki
makna berpegang teguh. Kahlil biasanya orang yang tegar dan selalu optimis
dalam segala hal dan seorang Kahlil yang selalu memiliki semangat yang
menggebu. Tetapi dalam puisi ini, dia merasa pesimis karena cintanya sudah
kandas. Jadi jelas tergambar puisi ini seakan-akan menjadi melankolis, karena
sajaknya berisi tentang ratapan kekecewaan yang menyedihkan. Namun dengan emosi
Kahlil yang mampu menguasai puisi tersebut menghasilkan sebuah karya yang
tampak tidak terlalu sendu.
CERMIN DIRI
Jika sifat
kalkulatif mutualisme
Membuat kau jauh
dariku…..
Berarti pemahaman
Individualismu
Masih teramat
dangkal….
Aku benar-benar
kecewa soal itu…
Percuma mulutku
berbui sampai robek
Kau takkan
pernah paham maksudku…..
Dan jika
Kalturalis masih mengikat kuat
Di dalam
pikiranmu
Sampai mampus
pun kau tak kan bisa terima aku….!
Egomu diatas
altar penyembahan itu…
Slalu ingin
disanjung
Seperti anak
kecil yang dicolok
Permen kemulutnya…
Jika egomu di
perolok
Mukamu merah
menyala bagai api….!
Dasar manusia orthodox….!
Kahlil Gibran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar