BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Feminisme
Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang
berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas
sosial (Ratna(2004: 184 (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))).
Tujuan feminis menurut (Ratna(2004: 184 (dalam,http://junaedijuju.blogspot.com)))
adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan
oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam
tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya.
Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakaan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme ialah teori
tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan
sosial; atau kegiataan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan wanita. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik
budaya feminis, yaitu :
- feminis liberal,memberikan intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan,
- feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender,
- feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender,sedangkan yang kedua pada kelas,
- feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan
- feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228 (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))).
Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra
feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita.
Kritik sastra feminis bukan berarti pengeritik wanita, atau kritik tentang
wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus;
kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya,
sastra, dan kehidupan. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca,
unsur karya dan faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra. (Endraswara(2003: 146(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)))
mengungkapkan
bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme yang difokuskan
adalah:
1.
kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
2.
ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk
pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan,
3.
memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi
wanita dalam sastra..
(Kolodny dalam Djajanegara (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))
menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:
1.
dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali
seluruhkarya sastra yang dihasilkan di abad silam;
2.
membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan
penulis perempuan.
Sasaran penting dalam analisis feminism sastra sedapat
mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas
citra wanita yang merasa tertekan oleh tradisi. Dominasi budaya partikal harus
terungkap secara jelas dalam analisis.
2.
Mengungkap tekanan pada tokoh wanita
dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria.
3.
Mengungkapkan ideologi
pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata..
4.
Mengkaji dari aspek ginokritik(karya sastra yang dibuat oleh kaum
perempuan), yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah
penulis wanita akan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak.
5.
Mengungkap aspek psikoanalisa
feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada
hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang dan sebagainya.
(Pradopo, 1991:137(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))
menggolongkan lima fokus sasaran pengkajian sastra feminis:
1.
Biologi, yang sering menempatkan perempuan lebih lembut, lemah, dan rendah;
2.
Pengalaman, sering kali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman
terbatas,masalah menstruasi, melahirkan, menyusui dan seterusnya;
3.
Wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa sedangkan laki-laki memilki
“tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini akan menimbulkan stereotip (citra diri)
yang negatif pada diri wanita;
4.
Proses ketidaksadaran, secara
diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas
wanita besifat revolusioner, subversif, beragam, dan terbuka. Namun demikian,
hal ini masih kurang disadari oleh laki-laki.
5.
Pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan sosial dan ekonomi
yang berbeda dengan laki-laki.
2.2 Kajian Sastra Feminis
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra
dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah
yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri
pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi
karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)).
Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)).
Menyebutkan sebagai reading as a woman, membaca
sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai
perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam
jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca
dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode.
Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra,
suatu kategori yang fundamental (mendasar).
Inti tujuan feminisme
adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk
mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh
hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki.
Lebih lanjut (Djajanegara (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))
menguraikan ragam kritik
sastra feminis dsebagai berikut.
- KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
- KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita). Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
- KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
- KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
- KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
- KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
Pertama,
kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia
menunjukkan masih di dominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan
keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti
terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari persepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh
perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya
dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat,
dan pendeknya derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak,
kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat
bersama laki-laki.
Keempat,
penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan
metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif
feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga
berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis
belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian
yang berlimpah ruah ini.
Kelima, lebih
dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan
lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata dilihat dari karya
sastra Indonesia. Oleh karena
itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra
berperspektif feminis.
Berdasarkan dasar pemikiran di atas, langkah mengkaji prosa fiksi
berdasarkan feminis dalam penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai
isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan
teks.
Pada
umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi
feministik. Baik cerita rekaan, ikon, maupun sajak mungkin untuk diteliti
dengan penekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah
menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh
laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama
atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
Setelah mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah
karya, kita mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Misalnya,
jika kedudukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat
tradisional dia akan dipandang menempati kedudukan yang interior atau lebih
rendah dari pada kedudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berperan
sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga dan tidak layak mencari nafkah
sendiri. Biasanya tokoh demikian akan memiliki ciri-ciri Victoria yang
ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah
pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang,
suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Selanjutnya, kita mencari tahu
tujuan hidupnya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata
mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis. Wanita
demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada
anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang
yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Sebaliknya, perempuan
yang bercita-cita untuk dengan berbagai cara mengembangkan diri menjadi
manusia yang mandiri lahir dan batin akan didukung oleh gerakan feminisme.
Perempuan demikian akan mengangkat kedudukan dan harkatnya hingga menjadi
setingkat dengan kedudukan dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun
di dalam masyakarat.
Lebih lanjut, kita dapat mengetahui perilaku serta watak tokoh perempuan
dari gambaran yang langsung diberikan penulis. Misalnya, penulis menggambarkan
tokoh tersebut sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, gemar dan pandai
mengatur rumah tangga, serta mau berusaha keras untuk membahagiakan suami.
Penulis dapat juga melukiskan tokoh wanita sebagai pribadi yang haus akan
pendidikan atau pengetahuan, yang rajin berkarya di luar lingkungan rumah,
terutama untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga bisa diakui masyarakat
sebagai sosok yang memiliki jati diri sendiri tanpa dikaitkan dengan kedudukan
suami.
Kemudian kita perhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang
bersangkutan. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakannya akan memberi banyak keterangan
bagi kita tentang tokoh itu. Seandainya seorang perempuan berangan-angan untuk
mendapat pendidikan yang memadai agar mampu menduduki suatu jabatan dan mampu
membantu ekonomi keluarganya, maka tokoh tersebut telah mewujudkan salah satu
tujuan yang diperjuangkan gerakan feminisme. Demikian pula dialog-dialog yang
melibatkan tokoh itu akan banyak mengungkapkan watak dan jalan pikirannya.
Langkah kedua adalah meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang
memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati. Cara-cara
atau tahap-tahap yang kita tempuh tidak banyak berbeda dari apa yang telah
kita laksanakan terhadap tokoh perempuan. Meskipun tujuan utama kita adalah
meneliti tokoh perempuan, kita tidak akan memperoleh gambaran lengkap tanpa
memperhatikan tokoh-tokoh lainnya, khususnya tokoh laki-laki, sebagaimana
layaknya dilakukan dalam kajian gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji.
Mungkin kita akan berprasangka bahwa jika penulisnya laki-laki, dengan sendirinya
tokoh wanitanya ditampilkan sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa
sadar menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Sebaliknya, apabila penulisnya
perempuan, dia akan menghadirkan tokoh perempuan yang tegar, mandiri, serta
penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian sebaiknya kita kesampingkan saja. Baik
laki-laki maupun wanita, seorang penulis mungkin saja menampilkan perempuan
mandiri atau perempuan tradisional. Yang perlu diperhatikan adalah nada atau
suasana yang mereka hadirkan. Mereka mungkin saja menulis dengan kata-kata
menyindir atau ironis, dengan nada komik atau memperolok-olok, dengan
mengkritik atau mendukung, dan dengan nada optimistik atau pesimistik. Nada dan
suasana cerita pada umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis dalam
menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung para feminis.
Untuk mengetahui pandangan serta sikap penulis, sebaiknya penganalisis
memperhatikan latar belakangnya. Misalnya tempat dan waktu penulisan sebuah
karya banyak mempengaruhi pendirian dan sikap seorang penulis. Untuk
memperoleh keterangan mengenai penulis, kita bisa membaca biografinya atau
kritik tentang karya-karyanya.
2.3. Teori Analisa Feminisme
Dalam menilai
karya sastra, cara yang sering dipakai adalah analisa secara tekstual. Salah
satu bentuk yang lain yang juga digunakan dalam memahami karya sastra adalah
analisis tekstual feminis. Analisis tekstual feminis mengandung dua hal yang
penting yaitu analisis tekstual dan analisis feminis. Perempuan menulis sendiri
sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan penilaian, mempertanyakan dan
menolak pola pikir laki-laki yang selama ini ditanamkan kepada perempuan.
Selain itu juga merupakan keberanian dan kekuatan untuk mengambil pilihan
sehingga mengubah kritik sastra dari ‘dialog yang tertutup’ menjadi ‘dialog
yang aktif’. Menjadi kritisi feminis berarti mampu membaca dengan kesadaran
atas dominasi ideologi patriarki dan wacana laki-laki, dan dengan kesadaran
serta keinginan untuk mendobrak dominasi tersebut. Seorang feminis dalam karya
sastra-nya dapat sajamerupakan seorang yang pluralistik dalam pilihan metode
serta teori sastra yang dipergunakannya, karena pada dasarnya pendekatan apapun
yang dimanfaatkan, selama itu sesuai dengan tujuan politisnya. Ada beberapa
macam pendekatan analisis sastra (teks) yaitu:
a.
Kritisisme
dengan perskriptif (perscriptive criticism) menawarkan sebuah cara untuk
menentukan peran pembebasan yang dapat dimainkan kesusasteraan dan kritik
feminis. Menurut Cheri Register (1975), untuk menjadi feminis, sebuah teks atau
karya sastra/tekstual harus memenuhi satu
atau lebih fungsi di bawah ini :
- Sebagai suatu forum bagi perempuan. Artinya perempuan dibiarkan bebasberbicara danmenceritakan pengalamannya dan perasaannya tanpa harus berusaha untukmemenuhi standaryang ditetapkan oleh laki-laki.
- Membantu tercapainya androginitas budaya. Pada dasarnya gerakan feminisme ingin menciptakan tatanan sosial yang lebih menghargai nilai-nilai perempuan yang selama ini tidak cukup dihargai. Penciptaan karakter perempuan yang terlalu macho atau kejam danmengagungkan kekuatan fisik tidaklah berarti feminis karena hal ini berarti masihberangkat darisifat kemaskulinan.
- Menyediakan metode contoh teks yang feminis menyediakan ruang bagi perempuan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dan mengevaluasi alternatif yang terbukabagi dirinya, dan pada saat yang sama menunjukkan bahwa pembebasan merupakan pengetahuan yang berat, yang dimulai dari diri sendiri dan diakhiri dari diri sendiri.
- Mempromosikan persaudaraan perempuan (sisterhood) teks, atau kritik feminisme harus memungkinkan perempuan untuk menyadari perbedaan dirinya dengan perempuan lain, dan dari pada saat yang sama menghargai persaman pengalaman dengan perempuan lain dan untukmemutuskan suatu tindakan ‘politis’.
b.
Kritik sastra gynocritics adalah mengkonstruksi suatu suatu bingkai kerja
yang akan menganalisa perempuan dalam karya sastra
(atau teks) berdasarkan pengalaman perempuan, dan bukan mengadaptasi model
serta teori laki-laki. Cara ini dimulai dengan membebaskan diri dari
cara pandang laki-laki,
menggantikannya dengan cara pandang perempuan dan mengartikulasikannya dalam
budaya perempuan. Tokoh yang memperkenalkan ini adalah Elaine
Showalter. Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa laki-laki lah yang
selama ini berusahamendefinisikan perempuandalam
budaya..
c.
Kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra
feminis yang menelititokoh-tokohpertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat.
d.
Kritik sastra gynesis, teori ini dilandaskan pada
pemikiran bahwa
pengalaman perempuan adalah milik
perempuan namun seorang laki-laki sebenarnya dapat menginternalisasikan suara perempuan dan bersimpati terhadap
perempuan..
e.
Kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung
diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh
perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya
mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang dibacanya, kritik
sastra feminis ini berbeda dengan kritik-kritik yang lain; masalah kritiksastra feminis
berkembang dari berbagai sumber. Untuk
menerapkan diperlukan pandangan luas dalam bacaan-bacaan tentang wanita.
Bantuan ilmu lain seperti sejarah, psikologi, dan antropologi misalnya sangat
diperlukan, disamping perlu dikuasai teori kritik yang sudah dimiliki sejak
awal oleh kritikus feminis itu.
Menurut (Ratna
(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)) gerakan feminis secara khusus
menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar