A. KEBUTUHAN DAN POLA HUBUNGAN
MANUSIA SEBAGAI INSAN PENDIDIKAN.
Filsafat pendidikan
ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya
mengenal pendidikan. (Pidarta,2007: 84) Dengan kemampuan pengetahuan yang benar, manusia berusaha
menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan
ilmu pengetahuannya dalam perilaku sehari-hari. Dalam peilaku sehari-hari,
pengetahuan berubah menjadi moral, dan kemudian menjadi etika kehidupan, sedemikian
rupa sehingga hakikat perilaku berupa kecenderungan untuk
mempertanggungjawabkan kelangsungan dan perkembangan hidup dan kehidupan ini
sepenuhnya.
Sedangkan tanggung jawab yang demikian itu berbentuk nilai
keadilan. Adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan lebih-lebih
terhadap alam dimana hidup dan kehidupan ini berlangsung. Karena tanpa diri dan
atau kepribadiannya, seorang manusia tidak mungkin bisa memerankan arti dan
fungsinya sebagai manusia, tanpa sesama manusia lainnya, seorang manusia tidak
mungkin mampu berada dan melangsungkan keberadaannya dan lebih-lebih tanpa
potensi alam, manusia siapa pun tidak mungkin berada.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat di
dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih, dan
dididik oleh orang tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan
dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola
kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran itu diselenggarakan
mulai dengan cara-cara konvensional (alami) menurut pengalaman hidup, sampai
pada cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional (pendidikan
sekolah), menurut kemampuan konseptik-rasional.
Setelah taraf kedewasaan dicapai, manusia tetap melanjutkan
kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri. Kematangan diri adalah
kemampuan menolong dri sendiri, orang lain dan terutama menolong kelestarian
alam agar tetap berlangsung dalam ekosistemnya. Dengan kata lain, pematangan
diri adalah bentuk kegiatan pendidikan lanjutan, yakni upaya manusia untuk
menjadi semakin arif dengan sikap dan perilaku adil terhadap apa pun dan siapa
pun yang menjadi bagian bagian integral dari eksistensi kehidupan ini.
Pada pokoknya persolan pendidikan adalah persoalan yang
lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Masalah pendidikan
secara kodrati melekat pada dan dalam diri manusia. Secara langsung atau tidak,
setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi pendidikan.
Dengan pendidikan, manusia melakukan kegiatan makan, minum, bekerja,
beristirahat, bermasyarakat, beragama dan sebagainya.
Dengan demikian, antara manusia dan pendidikan terjalin
hubungan kasualitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada, dan karena
pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang
manusiawi.
Manusia adalah makhluk yang sangat memerlukan pendidikan
atau bisa disebut juga dengan “homo educandum”. Manusia dipanggil
sebagai homo educandum karena manusia tidak dapat dipisahkan dari pendidikan,
manusia memerlukan pendidikan dan harus dididik terhadap setiap individu.
Pengertian “homo educandum” menyiratkan adanya tiga
subpredikat lainnya, yaitu homo educandee also (makhluk terdidik), homo
educabile (makhluk yang dapat dididik), dan homo educandum (mahluk
pendidikan). Oleh sebab itu, pendidikan bagi manusia sangat penting, karena
pendidikan tersebut merupakan salah satu usaha dalam rangka memanusiakan
manusia dan memanusiawikan manusia.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003, pendidikan diharapkan dapat berfungsi dalam mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bretakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cukup, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sasaran pendidikan ini berfungsi sebagai alat atau sarana
serta jalan untuk membuat perubahan menuju perkembangan hidup. Pada titik ini
manusia mewujudkan dirinya sebagai makhluk berpendidikan.
Tersirat dalam kodratnya, manusia sebagai makhluk
pendidikan, atas dasar potensi kodrat cipta, rasa, karsa dan karyanya, manusia
berkemampuan untuk dididik, mendidik diri dan makhluk yang dapat dididik.
B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG PERLU
DIDIDIK DAN MENDIDIK DIRI
Manusia adalah makhluk yang perlu dididik dan mendidik
drinya. Terdapat tiga prinsip antopologis yang menjadi asumsi perlunya manusia
mendapatkan pendidikan dan perlu mendidik diri, yaitu: 1) prinsip
historitas, 2) proinsip idealitas, dan 3) prinsip posibilitas/aktualitas.
Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia.
Eksistensi manusia tersebut terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke
masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, mausia berada dalam
perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia
tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia (prinsip
historisitas).
Bersamaan dengan hal diatas, dalam eksistensinya manusia
mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal merupakan
gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu, sosok
manusia ideal tersebut belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk dapat
diwujudkan (prinsip idealitas).
Permasalahannya, bagaimana mungkin manusia dapat menjadi
manusia? Terlebih dahulu kita bandingkan sifat perkembangan hewan dan sifat
perkembangan manusia. Perkembangan hewan bersifat terspesialisasi/tertutup.
Contoh: Seekor anak kucing lahir sebagai anak kucing, selanjutnya ia hidup dan
berkembang sesuai kodrat dan martabat ke-kucing-annya (menjadi kucing). Kita
tidak pernah menemukan bahwa ada seekor anak kucing yang berkembang menjadi
seekor kambing, karena hal itu sangatlah mustahil terjadi. Sebaliknya,
perkembangan pada manusia sifatnya terbuka. Manusia memang telah
dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi seorang manusia, misalnya:
potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, potensi untuk
dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, karya, dsb. Namun, setelah
kelahirannya, bahwaa potensi itu mungkin terwujudkan, kurang terwujudkan atau
bahkan tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai dengan kodrat dan martabat
kemanusiaannya (menjadi manusia seutuhnya), sebaliknya mungkin pula ia
brekembang ke arah yang kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat
kemanusiaannya (kurang/tidak menjadi manusia).
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menemukan berbagai
fenomena perilaku orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhannya,
orag-orang yang berperilaku sesuai dengan nilai dan budaya masyarakatnya, dsb.
Di samping itu, kita pun dapat menyaksikan orang-orang yang berperilaku
kurang/tidak sesuai dengan perilaku manusia yang seharusnya, baik menurut
nilai, norma agama maupun budayanya. Misalnya seseorang yang berperilaku
koruptor bak tikus kantor?
Anne Rollet, ia melaporkan bahwa sampai tahun 1976 para
entolog telah mencatat 60 anak-anak buas yang hidup bersama dan dipelihara oleh
binatang. Tidak diketahui bagaimana awal kejadiannya, yang jelas ia menemukan
bahwa diantara ke-60 anak tersebut ada yang dipelihara oleh serigala, kijang,
kera, dsb. Anak-anak tersebut akhirnya berperilaku tidak sebagaimana layaknya
manusia, melainkan betingkah laku sebagaimana binatang yang memeliharanya.
Mereka tidak berpakaian, bertindak agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak
dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana
bahasanya manusia,dll. (Insisari No.160 Tahun ke XIII, No-VEMBER 1976:81-86).
Demikianah perkembangan hidup manusia bersifat terbuka atau serba mungkin.
Inilah prinsip posibilitas/prinsip aktualitas.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa berbagai kemampuan yang seharusnya
dilakukan manusia tidak dibawa sejak kelahirannya., melainkan harus diperoleh
setelah kelahirannya dalam perkembangan menuju kedewasaannya. Di satu pihak,
berbagai kemampuan tersebut diperoleh manusia melalui upaya bantuan dari pihak
lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan, pengajaran, latihan, bimbingan, dan
berbagai bentuk kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Di lain pihak, manusia juga harus belajar atau harus mendidik diri.
Dalam bereksistensi yang harus menjadikan diri itu hakikatnya adalah manusia
itu sendiri. Sebaik dan sekuat apapun upaya yang diberikan oleh pihak lain
(pendidik) kepada seseorang (peserta didik) untuk membantunya menjadi manusia,
tetapi apabila seseorang tersebut tidak mau mendidik diri, maka upaya bantuan
tersebut tidak akan memberikan kontribusi apapun bagi kemungkinan seseorang
tadi untuk emnjadi manusia. Jika sejak kelahirannya perkembangan dan
pengembangan kehidupan manusai diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa dididik
oleh orang lain dan tanpa upaya mendidik diri dari pihak manusia yang
bersangkutan, kemungkinannya ia akan hanya hidup berdasarkan dorongan
instinknya saja.
Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi
manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi
manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi manusia
hanya melalui pendidikan” demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya (Henderson,1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi
M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal
Educandum (M.J. Langeveld,1980).
C. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG DAPAT
DIDIDIK
Manusia
perlu dididik dan mendidik diri. Berdasarkan konsep hakikat manusia, dapat
ditemukan lima prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan
dapat dididik, yaitu:
1. Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia yang
ideal. Sosok manusia yang ideal tersebut antara lain adalah manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral dan berakhlak
terpuji/mulia, pintar, cerdas, mempunyai perasaan, mempunyai kemamuan, mampu
berkarya, menghasilkan sesuatu, dst. Manusia pun memiliki berbagai macam
potensi, yaitu potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
potensi untuk berbuat baik, potensi cipta, potensi rasa, potensi karsa dan
potensi karya. Sebab itu, manusia akan dapat dididik karena manusia sudah
memiliki potensi untuk menjadi manusia yang ideal.
2. Prinsip Dinamika
Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan diupayakan dalam
rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia yang ideal.
Manusia itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia yang ideal. Manusia
seelalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Ia selalu
menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yag telah ada atau
yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi
manusia ideal, baik dala rangka interaksi/komunikasinya secara horizontal
maupun vertikal. Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan
dapat dididik.
3.
Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya membantu manusia
(peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menajdi dirirnya
sendiri. Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki
kesendirian (subyektifitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya
sendiri. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat
dididik.
4. Prinsip Sosialitas
Pendidikan belangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi)
anatar sesama manusia (pendidik dan peserta didik). Melalui pergaulan tersebut
pengaruh pendidikan disampaikan pendidik dan diterima peserta didik. Hakikat
manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam
kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal
balik di mana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang
lainnya. Sebab itu, sosialitas meimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
5. Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normtif, artinya dilaksanakan
berdasarkan system nilai norma dan nilai tertentu. Di samping itu, pendidikan
bertujuan agar manusia berakhlak mulia agar manusia berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat dan
budayanya. Di pihak lain, manusia berdimensi moralitas, manusia mampu
membedakan yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi moralitas
mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
Atas dasar berbagai asumsi di atas, jelas kiranya bahwa
mnausia akan dapat dididik, sehubungan dengan ini M.J. Langenveld (1980)
memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal Educabile”. Dengan
mengacu pada asumsi ini diharapkan kita sebagai manusia harus bersikap sabar
dan tabah dalam melaksanakan pendidikan.
D. MANUSIA MAKHLUK BERPENDIDIKAN
Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya
sebagai individu yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Dua sisi
perwujudan ini dipandang penting dan perlu untuk proses dalam sistem
pendidikan, agar dikemudian hari manusia dapat menemukan jati dirinya sebagai
manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin
bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan
hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal itu,
pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuh kembangkan segala potensi
kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
Potensi kejiwaan cipta, rasa dan karsa mutlak perlu mendapat
bimbingan berkelanjutan, karena ketiganya adalah potensi kreatif dan dinamis
khas manusia. Adapun sasaran pembimbingan dalam sistem kegiatan pendidikan
adalah menumbuhkan kesadaran atas eksistensi kehidupannya sebagai manusia yang
berasal mula dan betujuan. Di dalam sistem kegiatan pendidikan berkelanjutan,
kesadaran tersebut menjadi dinamis untuk kemudian bisa membuahkan kecerdasan
spiritual.
Tersirat dalam kodratnya sebagai makhluk pendidikan, atas
potensi kodrat cipta, rasa dan karsanya, manusia berkemampuan untuk dididik dan
mendidik. Kemampuan dididik berarti tiga potensi kejiwaannya itu sejak kecil
bisa menerima perawatan, pertolongan dan pembimbingan dari orang lain.
Sedangkan kemampuan mendidik berarti pada tingkat kesadaran dan keadaan
tertentu, manusia bisa melakukan perawatan, pembinaan dan pertolongan kepada
orang lain. Dengan kemampuan pendidikan inilah manusia terus membuat perubahan
untuk mengembangkan hidup dan kehidupan dirinya sebagai manusia. Karena
pendidikan adalah masalah khas kodrati manusia, sepanjang ada manusia,
pendidikan akan selalu ada. Jadi bagi manusia, pendidikan adalah mutlak. Karena
itu, tanpa pendidikan manusia tidak mungkin mampu mencptakan perubahan
untuk mengembagkan hidup dan kehidupannya. Sebab, jika hanya dengan insting
saja, keberadaan manusia dipastikan akan segera punah.
Manusia haruslah bersikap dan berpilaku adil terhadap diri
sendiri, masyarakat dan terhadap alam. Agar bisa berbuat demikian, manusia
harus berusaha mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai keberadaan segala
sesuatu yang ada ini,dar mana asalanya, bagaimana keberadaannya, dan apakah
menjadi tujuan akhir keberadaan tersebut. Untuk itu, manusia harus mendidik
diri sendiri dan sesamanya secara terus-menerus.
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan
adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam,
dengansesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur
dari semua potensi moral,intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk
kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yangditujukan untuk kepentingan
tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan
mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup
dankehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan
pendidikan maka terbentuklahpribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan
dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang.Pendidikan membantu
agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa
kehilanganpribadinya masing-masing.
Pada
hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga,
masyarakat, dansekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama
dan utama pendidikan, masyarakat sebagaitempat berkembangnya pendidikan, dan
sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai
peletak dasar pembentukan kepribadian anak.
Kak, ini ada daftar pustakanya nggak ya? Kalo mau posting makalah, tolong sekalian diposting juga daftar pustakanya. Makasih. :)
BalasHapusSangat membantu makasih
BalasHapus