Senin, 11 November 2013

feminimisme sastra



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Feminisme
Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna(2004: 184 (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))). Tujuan feminis menurut (Ratna(2004: 184 (dalam,http://junaedijuju.blogspot.com))) adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya.
Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakaan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiataan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu :
  1. feminis liberal,memberikan intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan,
  2. feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender,
  3. feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender,sedangkan yang kedua pada kelas,
  4. feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan
  5. feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228 (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com))).
Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Kritik sastra feminis bukan berarti pengeritik wanita, atau kritik tentang wanita, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik memandang sastra dengan kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra. (Endraswara(2003: 146(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)))  mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme yang difokuskan adalah:
1.         kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
2.         ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan,
3.         memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra..
(Kolodny dalam Djajanegara (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:
1.         dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruhkarya sastra yang dihasilkan di abad silam;
2.         membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan.
Sasaran penting dalam analisis feminism sastra sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.         Mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa tertekan oleh tradisi. Dominasi budaya partikal harus terungkap secara jelas dalam analisis.
2.          Mengungkap tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria.
3.          Mengungkapkan ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata..
4.         Mengkaji dari aspek ginokritik(karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan), yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis wanita akan memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak.
5.          Mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang dan sebagainya.
(Pradopo, 1991:137(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)) menggolongkan lima fokus sasaran pengkajian sastra feminis:
1.         Biologi, yang sering menempatkan perempuan lebih lembut, lemah, dan rendah;
2.         Pengalaman, sering kali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas,masalah menstruasi, melahirkan, menyusui dan seterusnya;
3.         Wacana, biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa sedangkan laki-laki memilki “tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini akan menimbulkan stereotip (citra diri) yang negatif pada diri wanita;
4.          Proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas wanita besifat revolusioner, subversif, beragam, dan terbuka. Namun demikian, hal ini masih kurang disadari oleh laki-laki.
5.         Pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan sosial dan ekonomi yang berbeda dengan laki-laki.
2.2 Kajian Sastra Feminis
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)).
Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5(dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)).  Menyebutkan sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental (mendasar).
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan keduduk­an dan derajat perempuan agar sama atau sejajar de­ngan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan ser­ta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini menca­kup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memper­oleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki.
Lebih lanjut (Djajanegara (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)) menguraikan ragam kritik sastra feminis dsebagai berikut.
  1. KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
  2. KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita).  Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
  3. KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
  4. KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
  5. KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
  6. KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih di dominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari persepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan pendeknya derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Keempat, penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian yang berlimpah ruah ini.
Kelima, lebih dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata dilihat dari karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra berperspektif feminis.
Berdasarkan dasar pemikiran di atas, langkah mengkaji prosa fiksi berdasarkan feminis dalam penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan teks.
Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, ikon, maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan pen­ekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wa­nita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah men­jadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
Setelah mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah karya, kita mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Misalnya, jika ke­dudukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat tradisional dia akan dipandang menempati ked­udukan yang interior atau lebih rendah dari pada ke­dudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berp­eran sebagai orang yang hanya mengurus rumah tang­ga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh demikian akan memiliki ciri-ciri Victoria yang ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Selanjutnya, kita mencari tahu tujuan hidupnya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangga­nya akan ditentang oleh para feminis. Wanita demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Seba­liknya, perempuan yang bercita-cita untuk dengan ber­bagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir dan batin akan didukung oleh gerakan fe­minisme. Perempuan demikian akan mengangkat kedu­dukan dan harkatnya hingga menjadi setingkat dengan kedudukan dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyakarat.
Lebih lanjut, kita dapat mengetahui perilaku serta wa­tak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung dibe­rikan penulis. Misalnya, penulis menggambarkan tokoh tersebut sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, gemar dan pandai mengatur rumah tangga, serta mau ber­usaha keras untuk membahagiakan suami. Penulis dapat juga melukiskan tokoh wanita sebagai pribadi yang haus akan pendidikan atau pengetahuan, yang rajin berkarya di luar lingkungan rumah, terutama untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga bisa diakui masyarakat se­bagai sosok yang memiliki jati diri sendiri tanpa dikaitkan dengan kedudukan suami.
Kemudian kita perhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang bersangkutan. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakannya akan memberi banyak ke­terangan bagi kita tentang tokoh itu. Seandainya se­orang perempuan berangan-angan untuk mendapat pendidikan yang memadai agar mampu menduduki suatu jabatan dan mampu membantu ekonomi kel­uarganya, maka tokoh tersebut telah mewujudkan sa­lah satu tujuan yang diperjuangkan gerakan feminisme. Demikian pula dialog-dialog yang melibatkan tokoh itu akan banyak mengungkapkan watak dan  jalan pi­kirannya.
Langkah kedua adalah meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati. Cara-cara atau ta­hap-tahap yang kita tempuh tidak banyak berbeda dari apa yang telah kita laksanakan terhadap tokoh perempuan. Meskipun tujuan utama kita adalah meneliti to­koh perempuan, kita tidak akan memperoleh gambaran lengkap tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya, khususnya tokoh laki-laki, sebagaimana layaknya dila­kukan dalam kajian gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji. Mungkin kita akan ber­prasangka bahwa jika penulisnya laki-laki, dengan sen­dirinya tokoh wanitanya ditampilkan sebagai sosok tra­disional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehi­dupan penuh ketergantungan. Sebaliknya, apabila pe­nulisnya perempuan, dia akan menghadirkan tokoh pe­rempuan yang tegar, mandiri, serta penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian sebaiknya kita kesampingkan saja. Baik laki-laki maupun wanita, seorang penulis mungkin saja menampilkan perempuan mandiri atau perempuan tradisional. Yang perlu diperhatikan adalah nada atau suasana yang mereka hadirkan. Mereka mungkin saja menulis dengan kata-kata menyindir atau ironis, dengan nada komik atau memperolok-olok, de­ngan mengkritik atau mendukung, dan dengan nada optimistik atau pesimistik. Nada dan suasana cerita pa­da umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis dalam menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung para feminis.
Untuk mengetahui pandangan serta sikap penulis, se­baiknya penganalisis memperhatikan latar belakangnya. Misalnya tempat dan waktu penulisan sebuah karya ba­nyak mempengaruhi pendirian dan sikap seorang penulis. Untuk memperoleh keterangan mengenai penulis, kita bisa membaca biografinya atau kritik tentang karya-kar­yanya.
2.3. Teori Analisa Feminisme
Dalam menilai karya sastra, cara yang sering dipakai adalah analisa secara tekstual. Salah satu bentuk yang lain yang juga digunakan dalam memahami karya sastra adalah analisis tekstual feminis. Analisis tekstual feminis mengandung dua hal yang penting yaitu analisis tekstual dan analisis feminis. Perempuan menulis sendiri sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan penilaian, mempertanyakan dan menolak pola pikir laki-laki yang selama ini ditanamkan kepada perempuan. Selain itu juga merupakan keberanian dan kekuatan untuk mengambil pilihan sehingga mengubah kritik sastra dari ‘dialog yang tertutup’ menjadi ‘dialog yang aktif’. Menjadi kritisi feminis berarti mampu membaca dengan kesadaran atas dominasi ideologi patriarki dan wacana laki-laki, dan dengan kesadaran serta keinginan untuk mendobrak dominasi tersebut. Seorang feminis dalam karya sastra-nya dapat sajamerupakan seorang yang pluralistik dalam pilihan metode serta teori sastra yang dipergunakannya, karena pada dasarnya pendekatan apapun yang dimanfaatkan, selama itu sesuai dengan tujuan politisnya. Ada beberapa macam pendekatan analisis sastra (teks) yaitu:
a.         Kritisisme dengan perskriptif (perscriptive criticism) menawarkan sebuah cara untuk menentukan peran pembebasan yang dapat dimainkan kesusasteraan dan kritik feminis. Menurut Cheri Register (1975), untuk menjadi feminis, sebuah teks atau karya sastra/tekstual harus memenuhi  satu atau lebih fungsi di bawah ini :
  1. Sebagai suatu forum bagi perempuan. Artinya perempuan dibiarkan bebasberbicara danmenceritakan pengalamannya dan perasaannya tanpa harus berusaha untukmemenuhi standaryang ditetapkan oleh laki-laki.
  2. Membantu tercapainya androginitas budaya. Pada dasarnya gerakan feminisme ingin menciptakan tatanan sosial yang lebih menghargai nilai-nilai perempuan yang selama ini tidak cukup dihargai. Penciptaan karakter perempuan yang terlalu macho atau kejam danmengagungkan kekuatan fisik tidaklah berarti feminis karena hal ini berarti masihberangkat darisifat kemaskulinan.
  3. Menyediakan metode contoh teks yang feminis menyediakan ruang bagi perempuan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dan mengevaluasi alternatif yang terbukabagi dirinya, dan pada saat yang sama menunjukkan bahwa pembebasan merupakan pengetahuan yang berat, yang dimulai dari diri sendiri dan diakhiri dari diri sendiri.
  4. Mempromosikan persaudaraan perempuan (sisterhood) teks, atau kritik feminisme harus memungkinkan perempuan untuk menyadari perbedaan dirinya dengan perempuan lain, dan dari pada saat yang sama menghargai persaman pengalaman dengan perempuan lain dan untukmemutuskan suatu tindakan ‘politis’.
b.        Kritik sastra gynocritics adalah mengkonstruksi suatu suatu bingkai kerja yang akan menganalisa  perempuan dalam karya sastra (atau teks) berdasarkan pengalaman perempuan, dan bukan mengadaptasi model serta teori laki-laki. Cara ini dimulai dengan membebaskan diri dari cara  pandang laki-laki, menggantikannya dengan cara pandang perempuan dan mengartikulasikannya dalam budaya perempuan. Tokoh yang memperkenalkan ini adalah Elaine Showalter. Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa laki-laki lah yang selama ini berusahamendefinisikan perempuandalam budaya..
c.         Kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra feminis yang menelititokoh-tokohpertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat.
d.        Kritik sastra gynesis, teori ini dilandaskan pada pemikiran bahwa pengalaman perempuan adalah milik perempuan namun seorang laki-laki sebenarnya dapat menginternalisasikan suara perempuan dan bersimpati terhadap perempuan..
e.         Kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang dibacanya, kritik sastra feminis ini berbeda dengan kritik-kritik yang lain; masalah kritiksastra feminis berkembang dari berbagai sumber. Untuk menerapkan diperlukan pandangan luas dalam bacaan-bacaan tentang wanita. Bantuan ilmu lain seperti sejarah, psikologi, dan antropologi misalnya sangat diperlukan, disamping perlu dikuasai teori kritik yang sudah dimiliki sejak awal oleh kritikus feminis itu. 
Menurut (Ratna (dalam, http://junaedijuju.blogspot.com)) gerakan feminis secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan.






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar