Minggu, 06 April 2014

KRITIK SASTRA PUISI



KRITIK SASTRA PUISI “CERMIN DIRI” KARYA KAHLIL GIBRAN
DEWI ANDINI (2011112225)
BAHASA ILMIAH TERBUNGKUS SERIBU MAKNA
……… Kalkulatif mutualisme
Membuat kau jauh dariku…..

Berarti pemahaman individualism
Masih teramat dangkal

Dan jika kalturalis masih mengikat kuat
Kau seperti kaum orthodox yang selalu…….

            Dalam puisi CERMIN DIRI Kahlil Gibran memberikan pilihan kata yang terlihat banyak menggunakan kata-kata ilmiah. Tetapi pengarang membungkus kata-kata dalam puisi tersebut dengan menggunakan bukan arti kata yang sebenarnya. Terdapat pada kata dicolok, disanjung, muka merah menyala bagai api sebagai symbol sesuatu yang kesal marah kepada dirinya yang tidak berguna seperti dirinya dianggap tidak berguna lagi. Kata “Sampai mampus pun kau tak kan bisa terima aku” merupakan sebuah harapan Kahlil Gibran sebagai kekecewaan terhadap kekasihnya. Kata “Selalu ingin menempatkan egomu diatas altar” diungkapkan pengarang memberi kesan pada makna kekecewaan yang dirasakan. Pengarang juga mencoba menggambarkan sebuah kebekuan perasaan dan jiwa dalam puisi ini.
            Seorang Kahlil Gibran mampu menciptakan pilihan kata sebaik mungkin, walaupun kata yang digunakan adalah bahasa percakapan. Tetapi, lewat kata-kata tersebut mampu menghadirkan makna yang dalam. Kahlil merupakan salah satu penyair yang tidak selalu terikat pada peraturan sehingga terkadang Kahlil tidak pernah memperhatikan bunyi yang ada dalam puisinya. Kahlil Gibran berpendapat bahwa sebuah puisi adalah suatu kebebasan. Namun, lain halnya dengan puisi ini Kahlil memperhatikan bunyi walau tidak terlihat secara mencolok.
            Meskipun bahasa dalam puisi ini adalah bahasa percakapan sehari-hari, namun dibalik kata-kata tersebut Kahlil memberikan bahasa kias. Bahasa kias tersebut digunakan pengarang untuk memperdalam makna yang ada dalam puisinya.
……………………
Kau seperti kaum orthodox yang selalu ingin menempatkan
Egomu diatas altar penyembahan itu…….
……………………
Seperti anak kecil yang dicolok
…………………….
            Dari kutipan tersebut terlihat adanya bahasa metafora yang digunakan pengarang untuk memperlihatkan rasa kecewa karena yang dirasakan. Ketidakberdayaan diungkapkan Kahlil seperti kaum orthodox, yang selalu ingin menempatkan ego diatas altar penyembahan itu selalu keras hati membuat Kahlil menjadi tiada berguna. Harapan pengarang kandas kepada kekasihnya yang selalu ingin diberi.
            Bahasa alusi juga ditampilkan pengarang untuk mensugestikan kesamaan. Seperti kata orthodox yang memiliki makna berpegang teguh. Kahlil biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal dan seorang Kahlil yang selalu memiliki semangat yang menggebu. Tetapi dalam puisi ini, dia merasa pesimis karena cintanya sudah kandas. Jadi jelas tergambar puisi ini seakan-akan menjadi melankolis, karena sajaknya berisi tentang ratapan kekecewaan yang menyedihkan. Namun dengan emosi Kahlil yang mampu menguasai puisi tersebut menghasilkan sebuah karya yang tampak tidak terlalu sendu.

CERMIN DIRI
Jika sifat kalkulatif mutualisme
Membuat kau jauh dariku…..
Berarti pemahaman Individualismu
Masih teramat dangkal….
Aku benar-benar kecewa soal itu…
Percuma mulutku berbui sampai robek
Kau takkan pernah paham maksudku…..
Dan jika Kalturalis masih mengikat kuat
Di dalam pikiranmu
Sampai mampus pun kau tak kan bisa terima aku….!
Egomu diatas altar penyembahan itu…
Slalu ingin disanjung
Seperti anak kecil yang dicolok
Permen kemulutnya…
Jika egomu di perolok
Mukamu merah menyala bagai api….!
Dasar manusia orthodox….!
                                                                                    Kahlil Gibran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar