Saat
sang surya tak lagi menampakkan diri, saat itulah kehancuranku datang. Saat
cahaya yang sangat aku butuhkan tak akan pernah lagi muncul, maka saat itulah
sengsara selalu menghantuiku. Kalau boleh rumput liar ini meminta padamu Sang Pemilik
Jagad Raya, maka izinkanlah cahaya itu hadir kembali untukku. Aku
membutuhkannya. Aku butuh sosok yang selalu memberi cahaya untukku. Aku butuh
cahayanya untuk hatiku, jiwa, dan ragaku. Tanpa cahaya itu, aku mati. Aku mati.
Aku mati. Bahkan aku mati tiga kalipun cahayaku tak mungkin kembali. Engaulah
pemiliknya. Sudah jelas kaulah pemilih jagad raya ini, termasuk cahayaku juga
milik-Mu.
Takbir
selalu ku jalankan. Tasbih selalu ku dendangkan. Menyebut-Mu setiap aku merasa
sesak juga sudah. Namun, aku hanya sebuah rumput liar bukan malaikat. Aku lemah
bila tak ada cahaya. Karena tak ada cahaya
aku menjadi liar. Aku merasa sebatang kara, meski aku masih punya Engkau
Ibu dari segala Ibu. Kau lah pengganti ibuku. Saat seorang anak tak punya
tempat untuk mengadu, Engkaulah tempatnya. Saat mata ini malu menangis di
hadapan Ayahku, maka kaulah yang setia mendengar deru deramku. Saat wajah ini
malu berbagi pada saudara kandungku, maka kaulah teman berbagi. Meski tak
sepatah katapun komentar terucap. Namun lewat cara-Mu aku merasakannya.
Hanya
Engkau dan aku yang tahu segala isi hati si rumput liar. Jelas aku sangat
mencintai Ibuku, namun lebih dari itu aku adalah hamba-Mu yang sangat patuh
pada-Mu. Aku ikhlas Ibuku kembali pada-Mu. Jagalah Ibuku dan jagalah aku.
Kokok
ayam membangunkanku. Ternyata tubuhku masih berada di atas sajadah usang yang
hampir sobek. Sedari subuh aku mengadu pada Sang Khalik. Dengan cepat ku
bereskan semua peralatan sholat dan membasuh wajahku yang sembab. Segera ku
cari Ayahku.
“Ayah...?”
“Ayah...?”
Tak ada sahutan, hanya suara gemercik air dari arah belakang rumah.
Tak
lama Ayah muncul dari balik pintu. Entah mengapa semenjak Ibu tidak ada, aku
selalu merasa miris melihat Ayah. Ayahku sudah cukup tua, fisiknya seakan tak
kuat lagi melakukan pekerjaan berat. Tapi, demi aku Sakira Azahwa anak
tunggalnya, beliau tak kenal lelah bekerja keras. Kembali perasaan ini muncul,
ya Allah terima kasih masih memberikan aku sedikit cahaya hidup. Meski cahaya
ini tak seterang cahaya yang telah Engkau ambil, tapi aku bersyukur
mempunyainya. Berikanlah selalu kesehatan bagi cahayaku, karena kesehatan
adalah hal yang terpenting baginya saat ini. pecah lamunanku saat Ayah
menyapaku lembut.
“
Zahwa, belum berangkat kuliah nak? Ini sudah jam 6 nanti kamu terlambat. Ayah
juga sebentar lagi mau berangkat ke kantor.”
“
iya Ayah, hari ini Zahwa libur”. Entah mengapa aku berbohong pada Ayah. Rasanya
hari ini aku ingin di rumah saja. Padahal tidak ada pekerjaan penting yang
harus dikerjakan.
“
Ya sudah, Ayah tinggal ya.” Dengan langkah kecil Ayah menuju kamarnya. Aku
hanya mengangguk pelan.
Waktu
sudah menunjukkan jam 10 pagi. Namun sejak Ayah berangkat ke kantor sampai
sekarang aku hanya duduk termenung di atas kursi panjang dengan ditemani suara
televisi yang menyala kuat. Entah apa yang aku lamunkan. Hari ini aku merasa
sangat sepi. Aliran darah mengalir dengan cepat. Jantungku juga berdegup hebat.
Perut yang sedari malam tidak di isi terus memberi kode. Seketika itu aku
beranjak dari tempat dudukku dan segera mempersiapkan makan siang untukku dan
untuk Ayahku. Biasanya Ayah pulang kantor sekitar jam 11 siang. Aku punya waktu
satu jam untuk mempersiapkan makan siang untuk Ayah.
Tepat
pukul 10.50 makan siang sudah tertata rapi di atas meja makan. Hanya lauk
sederhana, namun Ayah sangat menyukai makanan ini. tempe goreng, sayur asem dan
sambal tumis. Masih ada waktu 10 menit sebelum Ayah pulang. Ku putuskan untuk
mandi terlebih dahulu. Aku seakan tak ingin melewatkan makan siang bersama Ayah.
Setelah
mandi, aku merasa pandangan mataku buram. Mungkin ini karena aku belum makan.
Tapi aku ingin makan bersama dengan Ayah. Tekatku sudah bulat. Untuk mengusir
rasa lapar, kuputuskan untuk menonton televisi. Waktu berjalan seakan lama sekali. Tak sabar
aku menunggu kedatangan Ayah. Sudah satu jam lebih aku menonton televisi.
Kudengar azan zhuhur berkumandang tanda waktu sholat zhuhur sudah tiba. Segera
ku ambil air whudu dan melaksanakan kewajibanku sebagai umat islam. Setelah
sholat, air mataku tumpah. Entah apa sebabnya. Tapi, dadaku terasa sesak
sekali. Tangisku semakin menjadi. Sudah ku coba untuk berhenti menangis, namun
air mataku tetap saja mengalir deras, bahkan suara isakanpun mulai terdengar.
Ada apa ini.
Aku
merasa mataku bengkak. Susah sekali untuk membuka mata. Suasana di sekeliling
terasa pengap sekali. Aku berusaha untuk membuka mataku cepat. Saat aku membuka
mata tubuhku seakan di angkat dan segelas air mendarat dibibirku. Aku makin
heran, saat mataku terbuka lebar ku pandang sekeliling meski agak kabur. Ramai
sekali orang di rumah Ayah. Saat nama Ayah terbesit dalam pikiran, aku langsung
berdiri dan mencari Ayah. Semua mata tertuju padaku. Langkah kaki gontai
memapaku sampai pada sekelompok orang yang sedang melafaskan ayat-ayat
alqur’an. Aku mendekati sekelompok umat Allah yang sangat khusuk membaca alqur’an.
Ya Allah, siapa yang sedang terbujur kaku di antara hamba-hambamu itu. Apa
maksud dari semua ini. secepat inikah engkau ambil lagi cahayaku? Sesingkat
inikah yang bisa hamba rasakan kasih sayangnya? Apa tak bisa menunggu sampai
aku selesai makan siang bersamanya? Ya allah inikah kuasamu? Inikah caramu yang
maha adil? Sungguh aku sesak. Aku sakit. Aku sedih. Bahkan dalam sedih dan
sakitku saat ini, tak bisa lagi ku keluarkan air mata. Bahkan satu katapun
tidak. Cahaya-cahaya dalam hidupku, aku sangat menyayangimu. Ayah dan Ibu yang
luar biasa, aku mencintai kalian. Tapi, ada yang lebih mencintai dan menyayangi
kalian selain aku. Tak lain adalah Alah SWT pemilik bumi dan isinya. Aku
ikhlaskan semuanya. Aku percaya padanya. Kini aku benar-benar rumput liar. Tak
ada lagi cahaya penopang hidupku. Aku hanya tumbuh gersang di atas sebidang
tanah tandus tanpa cahaya. Dan kapan saja pemilih tanah mau, aku bisa saja
langsung di cabut dari sang pemilik tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar