Rabu, 07 Mei 2014

UNSUR-UNSUR INTRINSIK PUISI



UNSUR – UNSUR INTRINSIK PUISI
Oleh: Dewi Andini (2011112225)


I.    LATAR BELAKANG
            Salah satu cabang kajian tentang sastra adalah puisi. Puisi merupakan bagian dari ilmu sastra. Sastra dalam bahasa Sansekerta berarti tulisan atau karangan. Puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat (Depdikbud,  1997: 794). Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta wujud  puisi tersebut. Bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Wujud  puisi dapat dilihat dari bentuknya yang berlarik membentuk bait, letak tertata, dan tidak mementingkan ejaan.
            Puisi dapat juga membedakan wujudnya dengan membandingkan dari prosa. Ada empat unsur yang merupakan hakikat puisi, yaitu: tema, perasaan penyair, nada puisi, serta amanat. Selain itu, ada lima unsur yang merupakan metode  puisi terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, ritma dan rima.
            Pengertian puisi sendiri sampai saat ini masih terlalu sulit untuk di definisikan. Kebanyakan para ahli telah membuat definisi puisi dari berbagai sudut pandang mereka sendiri. Genre sastra akan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra imajinatif dan sastra non imajinatif. Puisi sendiri terdapat pada bagian imajinatif bersama dengan prosa. Sastra imajinatif sendiri memiliki ciri-ciri isinya yang bersifat khayali, menggunakan bahasa yang konotatif dan memenuhi syarat-syarat estetika seni.
            Puisi sendiri menitik beratkan keindahan bahasa yang digunakan oleh sang penulis atau sang penyair. Pandangan seperti ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa ciri khas sastra adalah pemakaian bahasa yang indah. Untuk lebih memahami apa itu puisi, yang pertama harus kita ketahui adalah pengertian puisi dan struktur puisi itu sendiri.

II. Pengertian Puisi

            Para ahli sastra berusaha mendefinisikan  arti puisi tetapi tidak ada satupun yang memuaskan masyarakat akan pengertian atau definisi puisi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh para ahli memandang puisi dari berbagai sudut pandang dan semakin lama puisi semakin berkembang mengikuti zaman sehingga definisi yang tepat untuk puisi itu sendiri belumlah ditemukan.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima “membuatatau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry (Aminuddin, 2004: 134). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Depdiknas, 1997: 794). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991: 23).
Berdasarkan  beberapa pendapat tersebut, dapat dirumuskan bahwa puisi adalah bentuk karangan kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama secara imajinatif, dengan menggunakan unsur musikal yang rapi, padu dan harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi, puisi adalah cara yang paling indah, impresif dan yang paling efektif dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.

A.   Struktur Puisi
            Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun ini saling berkaitan satu sama lain. Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin (Waluyo, 1991: 29).  Struktur  puisi  yang  telah kita kenal terdiri dari struktur batin puisi dan struktur fisik puisi. Berikut ini akan kita bahas satu per satu.

1.    Struktur Batin Puisi (Hakikat Puisi)
          Struktur batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran perasaan yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991: 47). Struktur batin puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan. Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991: 180-181). Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
a.   Tema
               Dalam sebuah  puisi tentunya sang penyair ingin mengemukakan sesuatu hal bagi penikmat puisinya. Sesuatu yang ingin diungkapkan oleh penyair dapat diungkapkan melalui puisi atau hasil karyanya yang dia dapatkan melalui pengelihatan,  pengalaman ataupun  kejadian yang pernah dialami atau kejadian yang terjadi pada suatu masyarakat dengan bahasanya sendiri. Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan  hal-hal  itu dengan caranya sendiri.  Atau dengan kata lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1984: 10). Inilah tema, tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh sang penyair yang terdapat dalam puisinya (Siswanto, 2008: 124).
          Dengan latar belakang pengetahuan yang sama,  penafsir-penafsir puisi akan memberikan  tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991: 107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
1)   Tema Ketuhanan
                 Puisi-puisi bertema ketuhanan biasanya akan menunjukkan religius experience atau “pengalaman religi” penyair yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman ketuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang  terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991: 107). Kedalaman rasa ketuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991: 108).
2)   Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud  menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud  meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991: 112).
3)   Tema Patriotisme / Kebangsaan
Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta akan bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan  riwayat pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan  bangsa atau membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991: 115).
4)   Tema Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif  perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa, di dapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
5)   Tema Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
b.   Perasaan Penyair (Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan  yang digunakan dalam puisinya karena dalam menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991: 121). Hal ini selaras dengan pendapat Tarigan (1984:11)  yang  menyatakan bahwa rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya.
c.    Nada dan Suasana
Menurut Tarigan (1984: 17) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nada dalam dunia perpuisian adalah sikap sang penyair terhadap pembacanya atau dengan kata lain sikap sang penyair terhadap para penikmat karyanya.
d.   Amanat (Pesan)
Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau tidak merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991: 130). Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.

2.    Struktur Fisik Puisi
 Struktur fisik puisi adalah  unsur pembangun puisi dari luar (Waluyo, 1991: 71). Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat.
Berikut ini akan dibahas struktur fisik puisi yang meliputi : diksi, imajinasi, kata konkret, majas, verifikasi, majas dan tipografi.

a.   Diksi atau Pilihan Kata
Salah satu hal yang ditonjolkan  dalam  puisi adalah  kata-katanya ataupun  pilihan katanya. Bahasa merupakan sarana utama dalam puisi. Dalam menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang hendak disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami hatinya. Selain itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih kata-kata yang setepat-tepatnya. Penyair juga ingin mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama serta kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan  puisi  itu. Dengan uraian singkat diatas, ditegaskan kembali betapa pentingnya diksi bagi suatu puisi. Menurut Tarigan (1984: 30), pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, nada suatu puisi dengan tepat.

b.   Imajinasi
            Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialaminya kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata dalam puisinya (Tarigan, 1984: 30). Ada hubungan yang erat antara pemilihan kata-kata, pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang dipilih harus menghasilkan dan  karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo, 1991:  97).
          Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang  pikiran  manusia dan energi tersebut dapat mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30). Dengan  menarik perhatian pembacanya melalui kata dan daya imajinasi akan memunculkan sesuatu yang lain yang belum pernah dirasakan oleh pembaca sebelumnya.  Segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau pengimajian (Tarigan, 1984: 30).
          Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran  angan) yang dihasilkan oleh indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman, pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya terdapat juga imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991: 79).  Semua imaji di atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan dikenal beberapa macam imajinasi, yaitu :
1)   Imajinasi Visual, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah          seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
2)   Imajinasi Auditori, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti   mendengar  sendiri apa yang dikemukakan penyair. Suara dan bunyi yang             dipergunakan tepat sekali untuk melukiskan hal yang dikemukakan, hal ini   sering menggunakan kata-kata onomatope.
3) Imajinasi Articulatori, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti                      mendengar bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian                   mulut waktu kita membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan         mulut membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan     sendirinya
4)Imajinasi Olfaktori, yakni imajinasi penciuman atau pembawaan dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu.     Kita seperti mencium bau rumput yang sedang dibakar, kita seperti mencium          bau tanah yang baru dicangkul, kita seperti mencium bau bunga mawar, kita           seperti mencium bau apel yang sedap dan sebagainya.
5)Imajinasi Gustatori, yakni imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau    mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu   benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.
6) Imajinasi Faktual, yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti       merasakan di bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas           oleh tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
7)Imajinasi Kinaestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang          menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8)Imajinasi Organik, yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti             melihat atau merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas,             mual, pusing dan sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak dipergunakan secara terpisah oleh penyair melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).

c.    Kata Konkret
Salah satu cara untuk membangkitkan daya bayang atau daya imajinasi para penikmat sastra khususnya puisi adalah dengan menggunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang kongkret, yang dapat menyaran pada suatu pengertian menyeluruh. Semakin tepat sang penyair menggunakan kata-kata atau bahasa dalam karya sastranya maka akan semakin kuat juga daya pemikat untuk penikmat sastra sehingga penikmat sastra akan merasakan sensasi yang berbeda. Para penikmat sastra akan menganggap bahwa mereka benar-benar  melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang dialami oleh sang penyair (Tarigan, 1984: 32). Dengan keterangan singkat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kata konkret adalah kata-kata yang dapat di tangkap dengan indra (Siswanto, 2008: 119).

d.   Majas atau Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991: 83).
            Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan  makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulis. Seperti yang diungkapkan Pradopo bahwa kias dapat menciptakan gambaran angan/ citraan (imagery) dalam diri pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah otak yang bersangkutan (1990:80). Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas, (4) Bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991: 83). Adapun bahasa kias yang biasa digunakan dalam puisi ataupun karya sastra lainnya yaitu:

1)   Perbandingan/ Perumpamaan (Simile)
          Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.
2)   Metafora
          Bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan yang lain yang sesungguhnya tidak sama.
3)   Personifikasi
          Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda  mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan kebenaran, memberikan bayangan angan yang konkret.
4)   Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
5)   Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti objek tersebut.
6)   Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78).
7)   Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi :
a)    Lambang warna
b)   Lambang benda : penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin    diucapkan.
c)   Lambang bunyi : bunyi yang diciptakan penyair untuk melambangkan    perasaan tertentu.
d)   Lambang suasana : suasana yang dilambangkan dengan suasana lain yang          lebih konkret.

e.    Verifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima, ritma dan metrum.
1)   Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk  musikalisasi  atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai antara lain :
a)    Menurut bunyinya :
(1)     Rima sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya
(2)     Rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya
(3)     Rima mutlak bila seluruh bunyi kata itu sama
(4)     Asonansi perulangan bunyi vokal dalam satu kata
(5)     Aliterasi : perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara                                              berurutan
(6)     Pisonansi (rima rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama,                                 namun vokalnya berbeda.
b)   Menurut letaknya:
(1)     Rima depan : bila kata pada permulaan baris sama
(2)     Rima tengah : bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu                                                              sama
(3)     Rima akhir bila perulangan kata terletak pada akhir baris
(4)     Rima tegak bila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan                              baris
(5)     Rima datar bila perulangan itu terdapat pada satu baris.
2)   Ritma
Pertentangan  bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Waluyo, 1991: 94). Ritma terdiri dari tiga macam, yaitu :
a)    Andante : Kata yang terdiri dari dua vokal, yang menimbulkan irama lambat
b)   Alegro : Kata bervokal tiga, menimbulkan irama sedang
c)    Motto Alegro : kata yang bervokal empat yang menyebabkan irama cepat.
3)   Metrum
          Perulangan kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991: 94). Nama metrum didapati dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1990: 40). Peranan  metrum  sangat penting dalam pembacaan puisi dan deklamasi.

f.     Tipografi atau Perwajahan
Ciri-ciri yang dapat dilihat sepintas dari puisi adalah perwajahannya atau tipografinya. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.  Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990: 210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi  puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.

III. KESIMPULAN
Salah satu genre sastra adalah puisi. Puisi mempunyai unsur-unsur pembangun yang menunjang bentuk dari puisi itu sendiri. Unsur pembangun puisi itu sendiri terdiri dari struktur batin puisi (hakikat puisi) dan struktur fisik puisi (metode puisi). Struktur batin puisi terdiri dari tema, rasa, nada dan amanat atau pesan; sedangkan struktur fisik puisi terdiri dari diksi, imaji, kata konkret, majas, verifikasi dan tipografi. Kedua struktur ini saling berhubungan satu sama lain, saling bergantung satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru                       Algensindo.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.             Jakarta: Balai Pustaka.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Bandung: Grasindo.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Waluyo, J. Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar